Sederet toko buku yang kerap didatangi masyarakat, seperti Kinokuniya, Aksara, Books&Beyond, dan terakhir Gunung Agung, berguguran tutup. Salah satu p
Salah satu buku buku sepi pengunjung |
Bahkan, menurut wartawan senor Wina Armada, saat webinart bertajuk Robohnya Toko Buku Kami yang digelar Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA di Jakarta (1/6), sebagian besar toko buku berubah fungsi menjual alat-alat perkantoran, sekolah dan olahraga.
Jadi, pengamatan Wina, toko buku yang masih bertahan saat ini sebetulnya tak lagi mengandalkan penjualan buku. Penjualan buku hanya bersifat supporting (pendukung). Yang dijual adalah alat kantor, sekolah, dan olahraga.
Dan, ada beberapa faktor yang menyebabkan tutupnya toko buku itu. Fenomena tersebut bukanlah kasus terisolasi, tetapi bagian dari perubahan global. “Tetapi tren penjualan buku yang terjadi di negara lain tidak bisa begitu saja disamakan dengan di Indonesia. Misalnya, ada perbedaan tingkat minat baca. Minat baca kita sangat rendah,” tutur penulis SATUPENA ini.
Di Indonesia juga ada perubahan kondisi. Misalnya, dulu awal siswa masuk sekolah adalah masa panen toko-toko buku. Ini karena murid harus beli buku di toko buku atau melalui sekolah. Ada jutaan buku baru dicetak karena menjadi buku wajib bagi murid-murid. Masa panen penerbit dan toko buku ini bisa membuat mereka bertahan untuk 2-3 tahun.
Wina Armada |
Di sisi lain, tambah Wina, penulis juga menghindari menjual bukunya lewat toko buku, karena merasa hanya mendapat ampasnya. Yang menikmati margin keuntungan hanya toko buku dan perantaranya. Akibatnya, penulis lebih suka menjual langsung bukunya lewat online di era sekarang (ma).
Foto: abri/istimewa