Dalam usianya 87 tahun, anggota Dewan Pertimbangan Presiden sejak 2015 hingga kini (Wantimpres) Drs. H. Sidarto Danusubroto, SH tampak masih bugar dan
Sidarto beri pendidikan vaksinasi ideologi di Jepang |
Baru-baru ini, menjelang Idul Fitri kemarin, Sidarto yang berlatar belakang Polisi dengan pensiun bintang dua (Inspektur Jenderal), mengunjungi tiga negara sekaligus, yaitu Seoul (Korea Selatan), Tokyo (Jepang) dan Hongkong.
Di ketiga negara tersebut, Sidarto yang kelahiran Pandeglang, Banten, Juni 1936 dan pernah menjadi Ketua MPR RI (2013-2014), berdialog dengan diaspora WNI terkait penguatan ideologi negara. Sidarto tak pernah lelah untuk terus menyuarakan pentingnya empat pilar bangsa, karena kekuatirannya tentang ancaman IRT (intoleran, radikalisme dan terorisme).
“Setelah ancaman pandemi Covid selesai, ancaman IRT ini juga sangat berbahaya. Sudah banyak temuan yang menunjukkan beberapa lembaga dan masyarakat yang terpapar ancaman ini,” ucap Sidarto, yang juga pernah menjadi ajudan Presiden Soekarno (1967-1968).
Berikut wawancara IndonesiaMandiri (IM) dengan Sidarto Danusubroto (SD) di kediamannya kawasan Kemang, Jakarta Selatan:
IM. Apa yang bapak lakukan dalam kunjungan kerja ke Asia Timur baru-baru ini?
SD. Ancaman terbesar setelah Covid adalah intoleransi, radikalisme dan terorisme. Itu virus yang merupakan ancaman untuk bangsa. Saatnya kita untuk melakukan vaksinasi ideologi. Apa yang saya lakukan berkunjung ke tiga negara itu (Seoul, Jepang dan Hongkong) adalah bertemu dengan diaspora dan melakukan vaksinasi ideologi yaitu Pancasila. Bukan lagi vaksinasi Covid.
Karena Pancasila adalah warisan founding fathers (Bung Karno). Selama ini terbukti bisa mempersatukan kebhinekaan Indonesia. Kalau Indonesia diibaratkan dalam suatu rumah, pondasi dasarnya adalah Pancasila, tiangnya Undang-Undang Dasar, dinding dan atapnya NKRI serta penghuninya Bhinneka Tunggal Ika. Ini empat pilar, sejak saya ketua MPR sudah digalakkan. Jadi penghuninya itu berbagai suku, agama, budaya dan adat istiadat, harus diwadahi bersama dalam rumah Pancasila ini.
Negara Timur Tengah perang terus karena produk radikalisme yang berkembang. Itu juga terjadi di Afganistan, Yaman, Sudan, dan lain-lain. Negara kita maju karena saling menghormati, wanita dan pria harus sama-sama punya andil.
Para diaspora sangat peduli dengan kesatuan bangsa |
IM. Bapak mulai melakukan program vaksinasi ideologi mulai kapan?
SD. Oh itu sudah lama saya berbicara seperti itu dihadapan publik. Jadi saya mengatakan, virus yang lebih dahsyat daripada Covid adalah IRT. Saya berbicara ini, karena hasil riset mengatakan hampir 20 persen sudah terkontaminasi IRT ini di berbagai lembaga.
IM. Tantangannya cukup berat?
SD. Kita belum siap menghadapi demokrasi Barat. Saya pernah menjadi anggota DPR RI tiga periode. Waktu sistem tertutup, saya dengan mudah terpilih. Saat sistem terbuka, orang disini mulai jor-joran dengan uang. Mulai gontok-gontokkan. Rakyat jadi terdidik untuk menunggu serangan fajar dan subuh untuk mendapat uang. Ini sangat tidak bagus untuk demokrasi dan harus dihapus.
Kalau pendapat saya, yang dipilih langsung hanya Presiden dan DPR RI. Kepala daerah itu yang memilih/menunjuk ya Presiden. Bupati juga begitu. Tiga Partai Politik pemenang nanti dapat jatah kursi disitu. Kalau dipilih langsung, nanti yang terjadi seperti sekarang, misalnya jabatan Gubernur bisa membutuhkan ratusan miliar, bupati puluhan miliar dan didukung oleh para Bohir/Cukong. Pembangunan pun jadinya yang didukung oleh para Bohir/Cukong itu. Mutunya tidak bagus.
Kalau dipilih oleh Presiden, bukan oleh para Cukong, maka hasilnya akan lebih baik. Wibawa Presiden kebawah juga ada. Kendali anggaran di daerah juga harus ada di Pusat. Ini masalah kita yang harus segera diatasi.
IM. Kembali ke soal kunjungan, yang bapak rasakan, bagaimana reaksi mereka soal ideologi?
SD. Umumnya masih sangat baik, karena mereka itu kebanyakan well educated. Beda dengan WNI yang ada di Saudi atau Malaysia, yang kebanyakan mereka pekerja/buruh. Saya kurang tahu di dua negara tersebut. Di Tokyo, Seoul dan Hongkong, mereka sangat educated, karena kebanyakan kelas menengah. Dalam dialog terlihat pikiran mereka sama dengan saya.
IM. Umumnya yang mereka khawatirkan apa?
SD. Ya hampir sama juga dengan yang saya sampaikan. Mereka sepakat tentang Indonesia yang puluhan tahun bisa survive karena Pancasila. Bangsa itu yang penting bukan agama. Tapi akhlak dan budaya. Di Jepang itu pejabat malu hara-kiri atau mundur. Disini OTT (operasi tangkap tangan) tiap minggu, orangnya hanya cengengesan (ketawa) saja.
Sebagai anggota Wantimpres bersama Presiden Jokowi |
Foto: Istimewa