Pemotongan rambut bocah bajang di Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah menjadi daya tarik tersendiri yang dirangkum dalam Dieng Culture Fe
Tradisi unik di Dieng yang memotong rambut seorang anak |
Biasanya para bocah bajang sebutan untuk bocah atau anak yang berambut panjang dan tumbuh gimbal memiliki permintaan khusus sebelum mengikuti proses ruwatan saat ritual budaya yang digelar pada 2-4 September 2022 di kawasan kompleks Candi Arjuna, Dieng Kulon.
Permintaannya terbilang unik. Misalnya ada meminta mandi salju, ingin kambing, hingga ada pula meminta meri atau anak bebek dua ekor berwarna kuning. Beda dengan permintaan anak bajang lainnya, Yumna Arsyla Kinasti (5) salah satu dari 15 anak yang mengikuti ritual kali ke-13 itu memiliki permintaan agar semua barangnya harus berwarna merah muda (pink) dan bergambar kuda poni.
Putri ketiga dari pasangan Wagiyo (42) dan Sifit Nur Aini (35) itu meminta sepeda, baju, kacamata renang, hingga baju renang yang tentunya serba pink. Sifit pun bercerita, tingkah laku Syla sapaan akrab Yumna berbeda dengan kedua kakak laki-lakinya yaitu Afrizal Bagas Sugiarto (16) dan Rafa Maulana Sugiarto (9) yang begitu pendiam.
Salah satu permintaan sang anak agar dikelilingi warna pink |
Dalam mitologi Dieng, bocah bajang atau anak berambut gembel dianggap sebagai titisan para leluhur Dieng Plateau. Untuk anak laki-laki, rambut gembel sebagai tanda titisan Kiai Kolodete. Yaitu, penguasa Dataran Tinggi Dieng yang bersemayam di Telaga Balaikambang.
Rambut gembel pada anak perempuan dianggap titisan Nyai Dewi Roro Ronce, abdi penguasa Pantai Selatan Nyai Roro Kidul. Sifit menceritakan kepada pengunjung saat berjumpa di kediaman mbah Sumanto, pemangku adat di Dieng Kulon, mulanya saat mengetahui putri bungsunya memiliki rambut gimbal ketika umur dua tahun. Sebelum rambut gimbalnya muncul, Syla demam hebat berhari-hari. Hingga dibawa ke dokter pun, Syla tak kunjung membaik.
Keunikan lainnya muncul saat Syla berumur empat tahun persis saat pandemi melanda tanah air. Jika ada orang yang akan meninggal biasanya ia mengalami saat-saat ketakutan selama beberapa waktu.
“Bilang emoh-emoh (tidak-tidak) seperti melihat sesuatu gitu. Dan ternyata setelah itu, ada kabar tetangga meninggal dunia. Ketakutan Syla itu terus berulang selama satu tahun. Hingga akhirnya Syla sudah tidak seperti itu lagi, mungkin karena sudah terbiasa, lantaran pandemi COVID-19 waktu itu banyak menyebabkan korban jiwa,” kisahnya.
“Setelah diruwat nanti, kami inginnya Syla jadi anak soleha, anak yang pinter, dan seperti anak-anak umumnya,” sanbubg sang ayah, Wagiyo. Keesokan harinya, Syla bersama 15 orang teman gimbalnya sudah siap mengikuti ritual ruwatan dengan berpakaian serta putih dibalut kain batik berwarna ungu sebagai bawahannya. Tak lupa sehelai benang untuk ikat kepala putih juga disematkan.
Ritual dipandu oleh pemangku adat bernama Mbah Sumanto. Setelah diarak menggunakan kereta kuda, Ritual Jamasan dilewati Syla bersama teman senasibnya sebelum akhirnya prosesi pemotongan rambut di Candi Arjuna dilakukan.
Kesakralan prosesi adat pencukuran pun semakin kental dengan iringan suara gending Jawa dan suluknya. Ada ‘mantra’ yang diucapkan saat prosesi dimulai. Pengantarnya seperti, ‘Sang maha wiku, pangaksama tusadyo, loka pati pitaka, katemah bagya’. Lanjutannya, ‘pangeranku imam banyu putih witapa, banyu abang seka si biyung, adem tan winasa’.
Beberapa mantra yang dipanjatkan, seperti ‘ya marani nira maya’ yang berarti dijauhkan siapapun yang akan berbuat jahat. Lanjutannya, ‘ya silapa palasia’ dengan maksud orang yang menyebabkan kelaparan justru memberikan makannya. Atau, ‘jamiroda doramiya’ yang artinya mereka yang suka memaksa justru memberikan kebebasan.
Setelah di potong rambut, dan rambutnya dilarung ke telaga Balekambang, Syla akhirnya mendapat apa yang ia inginkan saking senangnya, sepeda berwarna pink langsung ia tunggangi untuk dibawa pulang.
Keberadaan anak Bajang di Dieng memberikan gambaran bahwa dalam diri manusia yang serba kekurangan, lemah, dan cacat bertahtalah Yang Maha Sempurna.