Tragedi di tubuh Polri jadi taruhan demokrasi di Indonesia Oleh : Zulkifli S Ekomei Jakarta ( Indonesia Mandiri ) – Kejadian pembunuhan Brig...
Jakarta (Indonesia Mandiri) – Kejadian pembunuhan Brigadir J yang diduga dilakukan oleh atasan dan komplotannya, menyita perhatian banyak pihak setelah terbongkarnya skenario palsu terhadap kejadian sebenarnya yang diduga melibatkan banyak personil Polri. Ini melibatkan mulai bintara hingga perwira tinggi, bahkan juga oknum-oknum dari berbagai organisasi seperti Kompolnas, Komnas HAM, LPSK dan lain-lain.
Kejadian ini seolah menjadi puncak gunung es banyaknya kepalsuan di negeri yang didirikan berkat Rahmat Allah dan didorong oleh keinginan luhur para pendirinya.
Masih terekam di benak publik skenario palsu kasus pembunuhan di KM 50 pada Desember 2020 terhadap enam laskar FPI. Seolah publik dianggap bodoh semuanya, tak membaca skenario palsu yang sebenarnya tidak memerlukan kecerdasan khusus untuk menangkap kejanggalan-kejanggalannya.
Lagi-lagi rekayasa ini melibatkan beberapa perwira yang seharusnya bisa menjadi tauladan dan memberi contoh yang baik pada bawahannya, yunior-yuniornya maupun pada anak-anaknya. Sehingga jangan heran kalau suatu saat kelak akan sulit mencari generasi yang baik, jujur dan berintegritas.
Menariknya lagi ada narasi yang mengatakan, kebohongan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi suatu kebenaran atau dikenal dengan istilah "post truth". Dunia melihat, menyaksikan fenomena "post truth", bahwa fakta tidak lagi berpengaruh dalam membentuk opini seseorang, melainkan emosi dan keyakinan personal. Maka jangan heran kalau berita bohong menemukan momentumnya saat era "post-truth" ini.
Zulkifli S Ekomei |
Tetapi, bagi yang menjunjung tinggi kebenaran dan berintegritas tentu akan menolak pemikiran "gila" dan menolak menjadi pengikut aneka kebodohan diatas. Kepalsuan dan kebohongan juga tak luput terjadi pada pelaksanaan sistem berbangsa dan bernegara. Seperti dikatakan, negeri ini menganut sistem presidensial tapi untuk memilih pejabat eksekutif, pembantu Presiden harus melalui "fit and proper test" yang dilakukan oleh parlemen.
Disini patut diduga terjadi praktek suap menyuap. Terbukti banyak pejabat yang sudah lolos, kemudian dipidana karena terlibat kasus korupsi. Suatu hal yang tak masuk akal, bagaimana mungkin lembaga yang menduduki peringkat tinggi dalam kasus korupsi melakukan pengujian untuk mendapatkan pejabat yang bebas korupsi. Lagi-lagi ini pembohongan publik yang nyata dan terang-terangan terjadi.
Situasi kebohongan jika ditilik "flash back" dimulai ketika para begundal asing yang duduk di MPR periode 1999 – 2004. khususnya Panitia Ad Hoc 1. Ini beberapa catatan kepalsuan dan kebohongan mereka :
1. UUD NRI 1945 atau UUD'45 Palsu bukan hasil dari proses perubahan tapi proses penggantian.
2. Untuk memberi kesan bahwa UUD baru ini terdiri dari 16 Bab, padahal sebetulnya cuma terdiri dari 15 Bab, mereka membiarkan Bab IV kosong.
3. Untuk memberi kesan bahwa UUD baru ini tetap terdiri dari 37 Pasal maka banyak pasal yang ditambahi huruf di belakang seperti pasal 20a, 20b, 20c dan seterusnya.
4. Mereka juga berbohong bahwa UUD yang baru ini ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, padahal jelas-jelas ditandangani pada tanggal 10 Agustus 2002.
Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana negeri ini bisa mendapatkan berkah dan rahmat dari Allah jika aturan dan pelaksanaannya penuh kepalsuan dan kebohongan?
Mari seluruh anak bangsa hendaknya segera bertobat dan memohon ampunan pada Allah, Tuhan Yang Maha Adil untuk mengakhiri semua kepalsuan dan kebohongan massal ini. Kepalsuan dan kebohongan menjadikan nurani tuli akan kebenaran. Laa haula wala quwwata illa billah. Sebaik-baiknya yang palsu, masih jauh lebih baik yang asli. Silahkan direnungi….
*Penulis Penggugat UUD 45 Palsu dan Pemerhati Masalah Kebangsaan
Foto: Istimewa