Kehadiran berita untuk menyampaikan suatu kejadian merupakan penyampaian informasi dari suatu tempat ke masyarakat luas. Dengan pengertian yang seder
Dalam menjalankan tugasnya, wartawan mendapat perlindungan |
Apa yang terjadi sekarang ini? Penyampaian informasi atau berita – walau tentang kebenaran – akan bergantung kepada siapa penyampai warta atau informasi itu berpihak. Sebelum terjadinya peperangan di Ukraina, ada hal yang menarik yaitu penyampaian berita tentang peristiwa atau situasi di Myanmar.
Media-media mainstream dengan frekuensi yang ketat dan berulang menyampaikan berita tentang perlakuan penguasa militer Myanmar yang baru dalam menghadapi oposisi, sedetail mungkin dan menyebarkan berate sebagai serangan terhadap demokrasi. Demikian juga dengan peristiwa sebelumnya di Hong Kong.
Berbeda dengan penyampaian peristiwa penindasan kelompok Rohingya di Myanmar di era kepemimpinan Aung San Suu Kyi – sehingga menggururkan hadiah Nobel yang diterimanya..
Perang Ukraina Versus Russia
Perang adalah tragedi kemanusiaan yang terjadi akibat gagalnya pendekatan secara damai atau dengan cara dialog. Penyerbuan oleh Russia di 24 Februari 2022 terjadi satu hari setelah pada 22 Februari 2022, pihak Ukraina yang didukung Amerika Serikat/AS menghentikan upaya dialog secara sepihak, tanpa ssuatu alasan yang jelas.
Setelah perang berkecamuk, beberapa saat kemudian berbagai media mainstream menyampaikan berita tentang kebrutalan serangan Russia, kehancuran unit-unit pasukan Russia, hingga menuduh Russia atau Vladimir Putin sebagai Penjahat Perang. Berita tentang perang di Ukraina hingga detik ini masih terus mengalir. Hanya, sulit diketahui berita yang benar. Apakah itu berita tulis, suara, gambar, maupun video.
Peristiwa Perang di Ukraina ini membuka tabir versi baru dari dunia jurnalistik mainstream. Agaknya berita tentang kebenaran akan bergantung kepada posisi wadah jurnalistik itu berada – baik jurasitik tulis maupun elektronik -. Pemberitaan tentang pengungsi dari Ukraina jauh berbeda dengan pembertaan pengungsi dari Iraq, Afghanistan, atau tempat lain yang di porak-porandakan oleh kekuatan Barat dipimpin AS dengan skenario War On Terror atau War against WMD – Weapon of Mass Destruction.
Kebenaran berita atau informasi akhirnya kian rancu. Sulit untuk memimilih dan memilah: mana berita benar atau direkayasa. Di Indonesia, keberadaan jurnalistik atau Pers diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40,Tentang Pers.
Tak bisa dipungkiri, kehadiran pers memberikan dampak begitu luar biasa bagi kehidupan masyarakat. Melalui pers, masyarakat bisa mengetahui berbagai informasi. Sedemikian pentingnya kehadiran Pers dan jurnalisme di dunia, sehingga dalam peristiwa peperangan, walau di daerah konflik, pihak yang bertikai haruslah menjaga keselamatan insan pers, sebagai penyampai informasi yang netral dan berita kebenaran.
Perubahan Akan Membawa Petaka?
Namun, saat keberpihakan insan pers atau dunia jurnalistik di daerah konflik atau peperangan, akankah hak untuk dilindungi dalam pertempuran bagi wartawan tetap terjaga?
Perlindungan terhadap para Jurnalis sudah menjadi kesepakatan internasional seperti tergambar (sebagian) berikut:
The participants in the Diplomatic Conference held in Geneva from 1974 to 1977 felt that in order to better respond to the needs of their time it would be advisable to include a special provision on “measures of protection for journalists” in Protocol I to supplement Article 4 (A) (4) of the Third Geneva Convention. The resulting provision – Article 79 – does not change the regime applicable to war correspondents.
Article 79 formally states that journalists engaged in dangerous professional missions in zones of armed conflict are civilians within the meaning of Article 50 (1). As such, they enjoy the full scope of protection granted to civilians under international humanitarian law. Journalists are thus protected both against the effects of hostilities and against arbitrary measures taken by a party to the conflict when they fall into that party’s hands, either by being captured or being arrested. The framers of Protocol I did not wish to create a special status for journalists, since “... any increase in the number of persons with a special status, necessarily accompanied by an increase in protective signs, tends to weaken the protective value of each protected status already accepted...” The identity card mentioned in Article 79 (3) does not create a status for its holder, but merely “...attests to his status as a journalist.” It is therefore unnecessary to own such a card in order to enjoy the status of civilian. Moreover, while it is true that protection measures for journalists are only codified in the case of international conflicts (Protocol I), journalists also enjoy the protection granted to civilians in non-international armed conflicts. Tak sedikit liputan wartawan di daerah konflik tidak berimbang.
Lalu, apakah dengan apa yang terjadi sekarang ini tentang pemberitaan peperangan di Ukraina, masih dianggap, Pers/jurnalistik sebagai pihak yang netral dan harus dilindungi?
Menjelang bulan ke dua peperangan di Ukraina berlangsung, terjadi kasus penyerangan pasukan keamanan Israel kedalam Mesjid Al Aqsa di Jerusalem. Jelas pemberitaan jurnalisme Eropa dan Amerika sangat berbeda dengan peliputan terhadap para pengungsi Ukraina.
Jurnalis Sebagai Alat Perang?
Seperti di ketahui, dalam jajaran US Army – untuk operasi peperangan gabungan – baru-baru ini disahkan Doktrin baru yaitu Doktrin tentang Multi-Domain Operarion.
Dalam peperangan, akan dilaksanakan operasi multi-domain yang tidak menutup kemungkinan salah satu ‘domain’ yang akan dimainkan adalah domain jurnalistik. Lalu, apa kaitannya dengan perang di Ukraina?
Kiranya cukup kasat mata,peran AS dalam peperangan di Ukraina begitu dominan, dari penyiapan berbagai persenjataan yang akan di “endorse’ ke Ukraina, dana, hingga personel. Termasuk pelatihan personel di Ukraina jauh hari sebelum konflik peperangan saat ini.
Salah satu kejadian cukup memalukan, sebuah penerbitan pers berbahasa asing di Jakarta yang cukup bergengsi, “Tajuk” nya sempat mendapat kritik dari salah satu pejabat Russia di Asia Tenggara pada April 2022 lalu. Tajuk yang diterbitkan oleh media tersebut dianggap tidak netral, atau tidak akurat.
Sulit dibayangkan apabila dunia jurnalistik “digunakan” sebagai salah satu “Mesin Perang” oleh pihak yang disebut “Negara. Atau dengan kata lain; Pemerintahan menggunakan dunia Jurnalistik sebagai alat perang. Selain semakin jauh saja upaya perdamaian, juga kian sulit masyarakat memperoleh informasi yang benar atau berimbang.
Semoga kesadaran akan kenetralan dan kejujuran untuk menyampaikan kebenaran informasi akan datang kepada para insan pers……..
M. ALI Haroen (wartawam IndonesiaMandiri).
Foto: Istimewa