“Kita perlu memberdayakan dan menghidupkan kembali budaya malu (shame culture) dan budaya kebersalahan (guilt culture), sebagai strategi budaya untuk
Wajah para koruptor Indonesia |
Buku yang merupakan disertasinya saat meraih gelar Doktor dari Jurusan Filsafatr Universitas Indonesia pada 2014 ini, dikupas dalam Webinar Obrolan Hati Pena #20 di Jakarta (6/1). Satrio, yang juga Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia, SATUPENA mengutip pernyataan tokoh proklamator, Bung Hatta, bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya.
Oleh karenanya, cara mengatasinya tak cukup dengan sekadar perangkat hukum, seperti ancaman hukuman mati. Tetapi juga harus menggunakan strategi budaya. Dalam diskusi yang dipandu Elza Peldi Taher dan Amelia Fitriani itu, Satrio memberi beberapa contoh bagaimana korupsi sudah membudaya. Yakni, masyarakat sendiri tidak memberlakukan sanksi sosial terhadap para pelaku korupsi.
“Misalnya, kalau ada acara kawinan, pelaku korupsi tetap diundang sebagai tamu. Para mempelai tidak merasa malu, bahkan dengan bangga berfoto bersama pelaku korupsi. Khususnya jika si pelaku korupsi itu adalah tokoh ternama atau pejabat. Maka, secara tak langsung masyarakat sebetulnya turut mendukung perilaku korups,” jelas Satrio.
Dr Satrio Arismunandar |
Foto: Istimewa