Kemajuan suatu bangsa atau negara tidak cukup dilihat semata-mata dari kemajuan teknologinya. Tapi bisa diukur dari kemajuan kaum perempuannya. Seda
Beberapa negara di Timur Tengah beri banyak kebebasan kaum perempuan |
Sedangkan berbagai riset internasional menunjukkan, kemajuan kaum perempuan di dunia Muslim termasuk yang paling buruk.
Hal itu diutarakan Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, dalam Obrolan HATI PENA #10 secara daring, bertema “Masa Depan Kebebasan Perempuan di Dunia Muslim.” diselenggarakan oleh SATUPENA, di Jakarta (24/10).
Diskusi ini menghadirkan nara sumber Prof. Dr. Musdah Mulia, penulis buku “Ensiklopedi Muslimah Reformis” dan Founder MR Foundation serta dipandu Swary Utami Dewi dan Anick HT.
Bicara tentang kebebasan perempuan menjadi penting karena di banyak negara, separuh populasi adalah perempuan. Namun, dalam memperjuangkan kebebasan kaum perempuan di dunia Muslim, ada dua pertanyaan yang harus dijawab. “Pertama, seberapa bebas yang mau kita perjuangkan,” bahas Denny.
“Kedua, ketika kita berjuang demi hak asasi manusia (HAM) bagi kaum perempuan, versi HAM mana yang mau dipakai?” tambah Denny. Karena saat ini ada dua versi HAM: versi HAM universal dari PBB dan versi HAM dari dunia Muslim.
Denny JA |
Tapi ada reformis keras. Seperti Amina Wadud, aktivis yang menganggap perempuan boleh memberi kotbah Jumat dan menjadi imam solat Jumat. Juga Ani Zonneveld, yang membolehkan pernikahan beda agama, pernikahan sejenis, dan mendukung hak-hak kaum LGBT (dh).