Penerjemahan masih banyak yang menilai sebagai kegiatan yang diremehkan. Akibatnya, profesionalisme si penerjemah kurang dihargai dan berdampak pada k
Profesi penerjemah belum bisa diharapkan menopang penghasilan profesinya |
Pengalaman ini diutarakan Jean Couteau, penulis asal Prancis yang lama menetap di Indonesia. Couteau bicara dalam webinar Obrolan HATI PENA #11, yang bertema “Quo Vadis Terjemahan Indonesia" (31/10).
Diskusi diinisiasi Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA. Couteau menjelaskan beberapa alasan historis, mengapa kerja penerjemahan kurang berkembang di Indonesia.
Pertama, di zaman Jawa kuno sekitar abad ke-19, bahasa asing hadir bersama bahasa lokal. Namun, bahasa asing dianggap lebih membawa gengsi bagi para penuturnya.
Kedua, ketika zaman penjajahan Belanda di Indonesia, tidak dilihat adanya kebutuhan penerjemahan. “Hal ini karena orang berpendidikan Belanda sudah menguasai bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Mereka bisa membaca langsung di naskah, tak butuh terjemahan,” kata Couteau.
Sekarang sudah ada aplikasi digital dan kecerdasan buatan untuk melakukan penerjemahan. Menurut Couteau, aplikasi penerjemahan digital itu bisa dilakukan untuk pesan-pesan yang sederhana dan bahasa sederhana. Tapi tidak memadai untuk bahasa yang kompleks dengan kedalaman kultural.