“Indonesia perlu menyimak atau “wait and see” dulu, sebelum mengakui pemerintahan Taliban di Afganistan. Tetapi bukan berarti berdiam diri. Indonesia
Kemenangan Taliban tak harus disikapi dengan pro dan kontra di Indonesia |
Hal ini dibahas Yon Machmudi, Ph.D., Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam SKSG Universitas Indonesia, saat Webinar Obrolan Hati Pena Ke-3 bertajuk “Tata Dunia di Era Pandemik: Paradigma Geopolitik dan Diplomasi Internasional,” berlangsung di Jakarta (5/9).
Nara sumber lain dalam diskusi itu adalah Dr. Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute. Ikut memberi tanggapan, Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia SATUPENA, Denny JA, dan dipandu Amelia Fitriani dan Anick HT.
Yon Machmudi menyatakan, Indonesia perlu melakukan pendekatan ke Taliban di Afganistan, tetapi jangan terlalu menekankan pada aspek ideologis yang ketat. Jadi, lebih pada kepentingan yang bisa dibangun bersama. Pendekatan yang dibutuhkan adalah yang cukup bersifat akomodatif, berdasarkan penilaian yang sangat kuat. Bukan sekadar pro atau anti.
Menurut pengamatan Yon Machmudi, akses yang sudah dilakukan Kemlu RI saat ini bisa terus dilakukan. Sehingga pada saatnya nanti, Indonesia bisa menentukan posisi terhadap Afganistan secara baik. Untuk hal-hal yang tidak terlalu esensial dari pihak Afgsanistan, itu bisa diakomodasi.
“Jangan paksakan mereka (Taliban) bisa berubah secara dramatik,” jelas Yon Machmudi. Tapi sinyal perubahan ke arah moderasi dari pihak Taliban yang sudah ada, agar bisa ditindaklanjuti. Tawaran itu harus lebih spesifik, konkret, positif.
“Hindari pendekatan koersif, ancaman, dan invasi. Model-model seperti itu saat ini jarang bisa menghasilkan perubahan secara signifikan. Sangat penting agar semua bisa berjalan secara natural. Tanpa ada kekuatan yang memaksakan kehendak,” tambahnya.
Menurut Yon Machmudi, kegagalan nation building di Afganistan adalah karena menggunakan pendekatan dari atas (top-down) yang dipaksakan dari luar, dan tidak berakar di rakyat. Aspirasi pihak lokal kurang diperhatikan (bp).
Foto: Istimewa