Jakarta (IndonesiaMandiri) – "Dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim ke depan, dengan berbasis bukti ilmiah dan praktik di lapangan, saatnya kita
Peserta negosiator perubahan iklim global dari KLHK dan Kemlu |
Sebentar lagi Indonesia akan mengikuti The Twenty Sixth of the Conference of the Parties to the UNFCCC (COP26 UNFCCC). Artinya. Indonesia hadir pada forum tersebut dengan membawa capaian-capaian yang telah dilakukan Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim.
Indonesia telah memperlihatkan hasil kinerja penurunan emisi gas rumah kaca. Pada 2014-2016, mampu mengurangi sekitar 20,3 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2eq) dari sektor pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Hasil ini mendapat apresiasi global melalui pendanaan Green Climate Fund sebesar US$ 103,8 juta untuk 2021 - 2022. Sedangkan, atas penurunan emisi sebesar 11,2 juta ton CO2eq pada 2016-2017, Pemerintah Indonesia menerima pembayaran dari Norwegia, sebesar proyeksi US$ 56 juta.
"Indonesia patut berbangga atas capaian prestasi tersebut. Akan tetapi Indonesia tidak dapat hanya berhenti sampai di sini. Masih banyak hal yang harus dikerjakan. Perjuangan masih panjang, untuk mencapai penurunan emisi GRK sebesar 29% dengan upaya sendiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional," jelas Alue.
Disinilah pentingnya peran negosiator dalam menyampaikan prestasi tersebut. Juga memperkuat posisi Indonesia di mata internasional, khususnya dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim. Para negosiator perubahan iklim Indonesia dituntut untuk mampu melakukan setting the agenda, dan berkontribusi dalam menentukan arah perundingan perubahan iklim global.
Seentara Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar sependapat dengan yang disampaikan Alue tersebut. Jika saat ini negosiator yang terlibat berasal dari KLHK dan Kemenlu saja, maka ke depan juga perlu melibatkan negosiator dari Kementerian/Lembaga lain, agar posisi daya tawar Indonesia di mata global semakin kuat.
"Peran Indonesia dengan substansi, kinerja dan track record yang baik tadi, menjadi bekal kita. Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 juga telah mengamanatkan politik luar negeri Indonesia yang ditujukan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia, dijalankan secara bebas dan aktif," papar Mahendra.
Pelatihan tiga tingkatan negosiator perubahan iklim angkatan pertama diikuti oleh ASN dari KLHK dan Kemenlu. Tiga tingkatan tersebut yaitu Tingkat Dasar pada 2-6 November 2020 diikuti 30 peserta, Tingkat Lanjutan pada 9-19 Maret 2021 oleh 28 peserta dan Tingkat Mahir pada 5-19 April 2021 diikuti 27 peserta.
Secara garis besar, selama pelatihan peserta dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang kebijakan politik luar negeri, teknik negosiasi dan diplomasi. Disamping praktik menyusun kertas posisi, mereka diarahkan memahami situasi dan substansi perubahan iklim baik mitigasi, adaptasi, peningkatan kapasitas, teknologi dan pendanaan, serta perlindungan ozon dan pengendalian asap lintas batas (ma).