Pertengahan Juni 2018 secara mengejutkan Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan membentuk Matra keenam setelah Angk...
Pertengahan Juni 2018 secara mengejutkan Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan membentuk Matra keenam setelah Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, Korps Marinir, dan Coast Guard, yaitu Angkatan Ruang Angkasa atau “Space Force”.
Saat rapat di National Space Council, Trump mendeklarasikan bahwa Ia akan mengarahkan Kementerian Pertahanan untuk segera memproses pembentukan space force “sebagai Matra yang setara tetapi terpisah” dari Angkatan Udara, yang selama ini bertanggung jawab atas aset militer dan operasional di ruang angkasa. Arahan Donald Trump untuk membentuk entitas terpisah untuk operasi militer ruang angkasa.
Rencana pembentukan Matra Ruang Angkasa ini hingga September masih menghadapi berbagai resistensi dari berbagai pihak, baik dari kongres maupun beberapa pihak di Pentagon. Bahkan Menteri (Secretary) Angkatan Udara Heather Wilson nyaris diberhentikan oleh Presiden.Pentagon sendiri sedang mengalami berbagai kendala dalam penyusunan Anggaran Pertahanan dalam jangka pendek dan menengah.
Penyusunan anggaran yang sedang di hadapi antara lain, pihak Angkatan Laut mencanangkan sasaran peningkatan armada menjadi 355 Kapal Perang, sementara Angkatan Udara memiliki sasaran kekuatan 386 Skadron Operasional. Lalu dari Angkatan Darat masih belum menyampaikan perinciannya, demikian juga dengan Korps Marinir dan Coast Guard.
Faktor Biaya
Untuk merealisasikan pembentukan Matra Ruang Angkasa masih belum diketahui bagaimana struktur organisasinya serta berapa biaya dibutuhkan. Hal tersebut diutarakan baik oleh Deputi Menteri Pertahanan Patrick Shanahan dan Wakil Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Jenderal Paul Selva kepada media pada 9 Agustus 2018. Namun wakil Presiden Mike Pence mengatakan bahwa Pemerintah mengharapkan proposal pembentukan Matra Ruang Angkasa ini dapat terealisasi pada tahun fiskal 2020.
Menindaklanjuti pidato wakil presiden tersebut pihak Pentagon meluncurkan laporan tentang struktur manajemen untuk ruang angkasa, dengan nama julukan "the 1601 report" setelah dilakukan provisi Kongres 2018 tentang Kebijakan Pertahanan. Laporan tersebut memuat tentang Komando Tempur Gabungan baru, Komando Ruang Angkasa AS, yang akan dikepalai oleh seorang perwira tinggi bintang empat yang bertanggung jawab atas pengawasan operasional ruang angkasa. Itu juga membentuk Space Development Agency, yang akan befgabung dengan Badan Pengadaan untuk aset ruang angkasa.
Namun, masih tidak jelas apakah Matra baru ini merupakan organisasi menggantikan atau kompliment atas badan sejenis, yang sudah ada untuk jangka panjang - ketidakjelasan ini akan berimplikasi bagi Angkatan Udara, yang saat ini telah memiliki dan mengoperasikan berbagai infrastruktur militer untuk kegiatan angkasa luar. Angkatan Udara telah memiliki Badan Pusat Angkasa Luar dan Sistem Misil atau SMC (Space and Missile System Center).
Salah satu prioritas didalam laporan tersebut adalah untuk "meningkatkan kuantitas dan kualitas" personel pasukan ruang angkasa untuk memenuhi kebutuhan Komando Ruang Angkasa AS, sesuatu yang juga meningkat. One priority stated in the report was to “grow the number and quality” of space personnel to meet the needs of the U.S. Space Command, something that could also increase.
Namun demikian, menurut Shanahan bahwa Presiden Donald Trump dan Kepala Kantor Manajemen dan Anggaran Mick Mulvaney, secara eksplisit telah mengarahkan kepada Departemen untuk tidak menambah pengeluaran (overhead.) Dengan tidak adanya perencanaan yang paripurna, Departemen Pertahanan akan sedikit membuka dirinya, lebih terbatas atas Matra Ruang Angkasa yang saat ini lebih banyak ditangani oleh Angkatan Udara.
Komentar beberapa analis Pertahanan diantaranya Mackenzie Eaglen, dari The American Enterprise Institute, masih banyak langkah yang perlu dilalui oleh Pentagon untuk merealisasikan rencana pembentukan Matra Ruang Angka ini. Dan saat proses juga harus memprioritaskan anggaran serta strategi yang akan di jalankan agar tidak tumpang tindih dengan Matra lainnya dan dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Problematika di Angkatan Udara
Menteri Angkatan Udara (Air Force Secretary) Heather Wilson mengutarakan bahwa Angkatan Udara akan meningkatkan kekuatannya dari 312 skadron operasional menjadi 386 pada 2030, sebagai persiapan menghadapi konflik di masa mendatang terutamanya dengan Cina atau Rusia. Hal tersebut setara dengan peningkatan 24 persen dari kekuatan yang ada saat ini.
Dengan peningkatan kekuatan yang tertuang dalam proposal "Air Force We Meed" tersebut diharapkan Angkatan Udara mampu melakukan "fight a peer adversary" dan menang, dan juga mempertahankan tanah air, memberikan pertahanan nuklir yang kredibel, mengkonter negara "rose" berskala menengah yang mungkin mencoba untuk mencoba kekuatan Angkatan Udara, serta menghadapi ancaman teror.
Menurut juru bicara Angkatan Udara Ann Stefanek, kekuatan Angkatan udara pada saat ini adalah sekitar 670.000 personel aktif yang terdiri dari personel militer aktif, cadangan dan personel sipil. Diharapkan pada 2023 mendatang kekuatan tersebut akan meningkat menjadi 685.000 personel. Apabila proposal penambahan 74 skadron baru disetujui, maka Angkatan Udara akan membutuhkan penambahan personel sekitar 40.000 orang, maka pada 2030 kekuatan Angkatan Udara akan menjadi sekitar 725,000 personel, demikian yang dikatakan Stefanek.
Wilson memperkirakan, kekuatan Skadron Command, control, intelligence, surveillance and reconnaissance, atau C2ISR, akan mengalami pertumbuhan yang besar, berkembang dari 40 skadron menjadi 62 skadron antara 2025 hingga 2030. Dan, skadron Tanker, yang menghadapi pengurangan anggaran, akan tumbuh dari 40 menjadi 54 Skadron.
Skadron tempur yang kini berkekuatan 55 skadron juga akan ditingkatkan dengan perhitungan yang masih digodok, dimana kemungkinannya akan ditambah tujuh skadron, dan kekuatan SAR Tempur dari 27 menjadi 36 skadron. Skadron bomber dari 9 menjadi 14, Skadron Ruang Angkasa dari 16 menjadi 23, Skadron Operasi Khusus dari 20 menjadi 27, Skadron Angkut dari 53 menjadi , dan untuk skadron Drone/UAV dari 25 menjadi 27 skadron. Skadron siber tetap 18 skadron dan skadron misil tetap sembilan skadron, dengan peningkatan modernisasi.
Menurut analis anggaran pertahanan untuk CSIS (Center for Strategic and International Studies) Todd Harrison, pertumbuhan 24 persen untuk skadron saja akan memerlukan biaya cukup besar bagi Angkatan Udara, dimana tahun fiskal 2019 diperkirakan sebesar US$49.9 milyar.
Masalah pengerahan Kekuatan Udara
Sejak diberlakukan perang terhadap teror, banyak pengerahan kekuatan Angkatan Udara dalam skala kecil - skala wing, bukan skadron - tetapi memerlukan biaya yang besar karena kebutuhan sarana dan prasarana pendukung. Contohnya pengerahan di Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar.
Pada beberapa konflik, wing udara Angkatan Udara diupayakan hadir untuk memperlihatkan supremasinya, dan memerlukan penyiapan pangkalan bagi kekuatan wing tersebut, bahkan kadang kekuatan hanya tiga pesawat saja. Hal tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit dan waktu penyiapan yang terkadang hanya satu minggu saja.
Angkatan udara telah melakukan kegiatan seperti itu untuk kurun waktu lebih dari 17 tahun semenjak operation Desert Storm. Maka dapat dibayangkan biaya yang diperlukan untuk mempertahankan kekuatan-kekuatan kecil tersebut secara berkelanjutan.
Sementara itu Kepala Staf Angkatan Udara Jenderal Dave Goldfein menginstruksikan agar Angkatan Udara kembali ke akarnya sebagai Angkatan Udara yang siap untuk dikerahkan dengan cepat dan dapat membangun pangkalan baru dengan cepat - walau dibawah hujanan tembakan musuh - sebagai persiapan menghadapi konflik di masa depan.
Dalam arahannya pada konferensi the Air Force Association’s Air Space Cyber di National Harbor, Maryland, Goldfein mengatakan bahwa sejak peristiwa 9/11, Angkatan Udara telah bergerak meninggalkan model expeditionary Air Force expeditionary yang dikeluarkan pada 1998 oleh mantan Menteri Whitten Peters dan mantan Kepala Staf Jenderal Mike Ryan. Goldfein menyatakan bahwa model tersebut merupakan "visi brilian" yang diterapkan secara baik oleh Angkatan Udara di Iraq dan Kosovo pada akhir era 1990an.
Menurut Goldfein, saat ini Angkatan Udara menjadi tempat yang sering "mengkanibal diri" dengan mengerahkan grup kecil ke garis depan, maupun individual airmen, untuk bergabung dalam sebuah kampanye yang mature dengan membangun kepemimpinan, menempatkan infrastruktur sistem komando, kendali, dan lain-lain.
Namun cara tersebut mungkin efektif diterapkan di kawasan Timur Tengah. Apakah cara seperti itu juga efektif menghadapi kekuatan militer yang moderen seperti Rusia atau Cina? Strategi Pertahanan Nasional yang baru dari Pentagon fokus kepada yang disebut sebagai KEMBALI KE KOMPETISI KEKUATAN BESAR, dan Angkatan Udara tengah menyusun posturnya untuk siap menghadapi berbagai konflik. Dan dibandingkan pengerahan dalam waktu minggu atau bulan, Angkatan Udara harus siap untuk dikerahkan dalam hitungan hari, kata Goldfein.
Pandangan Senat
Lalu bagaimana pendangan Senat atas wacana Presiden Donald Trump untuk membentuk Matra Ruang Angkasa ini?
Menurut beberapa media di Amerika Serikat, Senat menanggapi dengan sikap skeptis atas gagasan Trump tersebut. Saat Wakil Presiden Mike Pence mengemukakan rencana untuk membentuk kecabangan militer angkatan baru yang terfokus pada kekuatan Ruang Angkasa pada 2020, Gedung Putih tidak dapat meyakinkan atau merebut simpati dari dua pendukung kunci kekuatan Senat yaitu, Ketua dari Kelompok Republikan di Senat, dan Komisi Angkatan Bersenjata di Senat.
Senat beranggapan bahwa bidang tersebut biasanya ditangani oleh pihak Angkatan Udara. Bahkan ada anggota Senat yang beranggapan bahwa untuk urusan Ruang Angkasa cukup diangani oleh sebuah kecabangan sebagai subordinat didalam Angkatan Udara saja.
Alasan Pembentukan Matra Ruang Angkasa
Argumen untuk dibentuknya Matra Ruang Angkasa antara lain karena adanya analisa bahwa Rusia dan Cina memiliki teknologi anti-satelit yang dapat membahayakan aset Amerika Serikat yang berpangkalan di Angkasa Luar yang memiliki kemampuan operasi pendukung intelijen, surveillance, komunikasi dan navigasi. Maka kemampuan Rusia dan Cina tersebut harus ditanggapi secara serius dan dianggap harus dihadapi dengan kekuatan khusus untuk bidang Ruang Angkasa (Space).
Menurut dua jajak pendapat yang dilakukan terhadap publik Amerika Serikat baru-baru ini, demam ruang angkasa bukan merupakan epidemik. Poll CNN, mayoritas masyarakat Amerika (55 persen) menyatakan tidak mendukung program pembentukan Matra Ruang Angkasa, hanya 37 persen yang menyatakan setuju. Survei terpisah Poll Economist/YouGov hanya 29 persen yang mendukung, 42 persen menyatakan sebagai ide yang buruk, dan 29 persen abstain.
Analisa tentang kemampuan Rusia dan Cina yang memacu untuk dibentuknya Matra Ruang Angkasa ini tentunya harus didukung dengan data akurat. Amerika serikat yang selama ini lebih banyak memanfaatken kemampuan satelit ruang angkasa untuk kepentingan militer agaknya terusik dengan analisa kemampuan Rusia dan Cina.
Sejak dicanangkannya perang terhadap terorisme, Amerika Serikat telah memanfaatkan jaringan satelit untuk kepentingan militer, baik untuk C2ISR maupun untuk pengerahan pesawat tanpa awak (drone) demj menghancurkan sasaran yang dianggap sebagai tempat teroris.
Selain itu dalam acara televisi yang berjudul Vice 6 di utarakan bahwa saat ini sampah di ruang angkasa sudah sangat banyak. Sampah yang dimaksud adalah bekas-bekas satelit maupun stasiun ruang angkasa yang sudah kadaluarsa dan tidak digunakan lagi, tetapi tidak jatuh ke bumi. Pada akhirnya sampah tersebut dapat membahayakan benda-benda atau satelit yang masih beroperasi di ruang angkasa.
Namun berbagai alasan yang dikemukakan masih saja menimbulkan sikap skeptis dari beberapa anggota Senat dari komite Pertahanan (SASC).
Bahkan ada yang menyatakan oposisi seperti Senator Deb Fischer (Partai republik - Nebraska) dari sub-komisi Kekuatan Strategik SASC. Demikian juga beberapa Senator lainnya yang juga dari Partai Republik, yang menolak atau meragukan ide pembentukan Matra Ruang Angkasa.
Sebagaimana dipaparkan secara jelas dalam National Defense Strategy dan National Security Strategy, ruang angkasa diset menjadi domain medan tempur yang krusial, dimana hampir setiap operasi dilakukan oleh militer bergantung pada aset ruang angkasa. Maka saat konferensi tahunan Air Force Association yang dihadiri oleh para pimpinan Air Force’s Global Strike Command, Space Command, Komandan gugus tempur Eropa dan Afrika dan kepala Operasi Khusus mendiskusikan hal operasi, tidaklah mengejutkan bila mereka memilih untuk fokus pada bagaimana rencana kedepan untuk memanfaatkan aset ruang angkasa untuk Project Power pada abad ke-21.
Salah satu alasan mengapa ruang angkasa menjadi sangat penting, bukan saja bagi Angkatan Udara, namun bagi semua matra militer, karena aset udara dapat menjadi multidomain operation yang akan menjadi norma dalam peperangan modern.
Komandan Angkatan Udara untuk wilayah Eropa dan Afrika Jenderal Tod D. Wolters menyatakan bahwa keberhasilan operasi penyerbuan pabrik senjata kimia di Syria pada April lalu, tidak lepas dari pemanfaatan penerapan multidomain operations.
Alasan kunci lainnya Angkatan Udara meningkatkan fokus pada ruang angkasa adalah karena hasil kemenangan dari konflik akan bergantung sebagian besar pada kemenangan di ruang angkasa. Mengawasi asset ruang angkasa menjadi prioritas dalam strategi Keamanan Nasional. Lalu bagaimana kelanjutan dari rencana Presiden Amerika Serikat mewujudkan pembentukan Matra Ruang Angkasa ini? (mah/ab).
Foto: Istimewa